Banyak yang mengira ekonomi syariah adalah bentuk “ancaman” bagi kebudayaan masyarakat suatu daerah. Montgomery Watt (1979) seorang filusuf asal Scotland pernah menyebutkan bahwa Religion tidak memiliki hubungan dengan ekonomi, politik, dan industri. Bahkan agama mengancam persoalan privat manusia dan tidak berhubungan langsung dengan kebijakan publik. Sains menggantikan agama dalam mengambil otoritas kehidupan.
Montgomery Watt (1979) menyebutkan sedangkan Dien (Agama Islam) membantu urusan publik dan privat manusia dan dapat dijadikan sebagai dasar-dasar teori politik modern serta menjadi dasar dalam berekonomi.
Hal ini lah yang menjadi pembeda antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah. John Stuart Mill (1836) salah satu Bapak Ekonomi Kapitalis menyebutkan bahwa Ekonomi berdasarkan premis asumsi yang tidak berdasarkan pada fondasi yang universal.
Ekonomi konvensional yang berdasarkan asumsi seseorang manusia yang notabene bisa saja keliru menjadikan ekonomi global mengalami ketidakpastian. Sedangkan ekonomi syariah yang berdasarkan sumber ilmu pengetahuan Quran, Hadist, kisah perekonomian dari para ulama terdahulu dan bersifat alamiah menjadikan ekonomi syariah memiliki fondasi yang begitu kuat.
Prof Aslam Haneef, scholars dari International Islamic University of Malaysia menyebutkan ekonomi syariah bersifat universal, generating new ideas, menggunakan akal atau intelektualitas dan mengandung value kemasyarakatan
Keren nya lagi, Allah memerintahkan kita untuk mentadaburi atau menganalisa/mengkritisi Al Quran apakah kasus ekonomi ini konteksnya sama atau tidak dengan kondisi hari ini. Tidak hanya itu, ilmu pengetahuan modern pun wajib kita analisa atau kritisi agar ekonomi syariah semakin adaptif dengan perkembangan zaman.
Saya kurang setuju bila ilmu Quran hanya diterima secara taklid dan tidak dianalisa atau dihubungkan dengan konteks kekinian dan kedisinian. Malaysia saja merombak komposisi Dewan Syariah Nasional nya yang tadinya diisi semua oleh ahli Fiqih kemudian berimbang menjadi ada ahli keuangan, akuntansi, makroekonomi dan sebagainya.
Tidak sehitam putih itu ekonomi syariah kecuali memang ayat ayat yang dengan mutlak melarang dan menharamkan nya. Selama tidak ada konteks yang mutlak, Allah memerintahkan kita untuk berijtihad secara berjamaah bukan mengedepankan ego pribadi karena saya lulusan timur tengah, saya lah yang paling tepat fatwa nya.
Hal ini berkaitan dengan Islamic Economic Worldview seseorang. Setidaknya worldview tersebut dipengaruh oleh agama, budaya, pendidikan, sejarah, geografis, dan teknologi. Agama nya sama saja tapi budaya suku nya berbeda maka sudut pandang nya bisa berbeda. Agama dan budaya nya sama namun tingkat pendidikan nya berbeda maka bisa saja sudut pandangnya berbeda.
Lantas mengapa kita memercayai sistem ekonomi kapitalis yang notabene berdasarkan asumsi dan pikiran manusia yang berbeda budaya, geografis, dan pendidikan dengan kita. Mungkin saja teori ekonomi adam smith, John Stuart Mill bagus namun sayang hanya berlaku untuk dirinya saja dan mungkin untuk lingkungan di negara asal mereka.
Bagaimana kita dapat yakin dengan sebuah sistem ekonomi yang sifatnya saja tidak universal dan bukan berdasarkan pada kejadian kejadian empiris alamiah. Wajar bila dunia hari ini mengalami ketidakpastian ekonomi, gagal mendistribusikan kesejahteraan, gagal menghadirkan keadilan bagi semua golongan, dan gagal dalam memahami konteks ekonomi secara kekinian.
Ekonomi syariah masih sulit diterima masyarakat secara luas karena adanya paradigma masa lalu yang membuat masyarakat cukup trauma, khususnya kaum sekuler. Masih ingatkah dengan kisah Galileo Galilei yang membela sains hingga dikucilkan oleh gereja?Dia mengatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bukan bumi sebagai pusat tata surya (Teori Heliosentris).
Pernyataan ini sangat ditentang oleh Gereja. Great Books of the Western menyebutkan bahwa Dia didakwa atas tiga tuduhan: melanggar larangan yang ditetapkan pada 1616, mengajarkan teori Copernicus bukan sekadar hipotesis melainkan fakta, dan meyakini teori yang dilarang Gereja. Dalam persidangan pada 1933 ia diputus bersalah atas dua tuduhan pertama.
Sejak saat itu lah, ada kubu yang anti Gereja/Agama atau dikenal sekuler yang menjunjung tinggi sains dan ada kubu yang pro dengan Gereja/Agama atau dikenal sebagai kelompok konservatif dan terkadang dituduh ekstrimis. Pengalaman sejarah ini lah yang menjadikan Ekonomi Syariah masih sulit diterima oleh banyak kalangan karena paham sekularisme dulu masih begitu kuat pengaruhnya hingga hari ini.
Padahal, agama dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain lain tidak dapat dipisahkan. Mereka telah menyatu lama secara alamiah sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai seseorang Homo Islamicus, tugas kita adalah bekerja secara inklusif dan universal agar ekonomi syariah dapat diterima bukan hanya karena perintah agama tapi karena gagasan ekonomi yang benar benar terasa dampaknya bagi masyarakat. Bukan justru membuat ekonomi syariah semakin stagnan dalam perkembangan nya.
Stagnasi ekonomi syariah di Indonesia tersebut terjadi karena beberapa faktor. Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama adalah kualitas sumber daya manusia lulusan ekonomi syariah. Setiap tahun, ribuan lulusan dari ratusan prodi ekonomi syariah dilahirkan namun penyerapan di industri ekonomi syariah relatif kecil.
Studi dari Prof Nurul Huda, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi dengan judul “Daya Serap Lulusan Program Studi Ekonomi Keuangan Islam Pendekatan Alignment Index dan Exploratory” tahun 2016 menyebutkan bahwa Daya serap lulusan prodi ekonomi dan keuangan Islam pada industri keuangan syariah masih banyak belum mencapai angka 40%. Lulusan prodi ekonomi dan keuangan Islam khususnya di wilayah Sumatera banyak diserap oleh industri keuangan konvensional.
Perlu adanya investasi yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia lulusan ekonomi syariah. Tentu, kita tidak ingin lagi melihat fenomena lulusan perbankan syariah tidak diterima di Bank Syariah karena tidak lolos tes Psikotes, tes Toefl, tes kemampuan TPA, dan lainnya yang notabene tidak dipersiapkan selama ia berkuliah. Mereka hanya sibuk berdebat soal dalil dan mengkaji kaji terus sampai ia lupa hari ini sudah diwisuda oleh kampusnya dan lupa mempersiapkan softskill umum yang dibutuhkan di industri kerja. Hal sederhana saja adalah kemampuan berkomunikasi. Betapa banyak mahasiswa yang tidak mengetahui etika berkomunikasi dengan dosen nya. Menghubungi di luar jam kerja dan bahkan mengirim pesan tidak secara sempurna apa maksud dari ia menghubungi dosen nya.
Kedua, political will dari pemerintah. Belum adanya regulasi yang mewajibkan bayar zakat, belum masifnya paket paket kebijakan ekonomi yang berdasarkan ekonomi syariah, masih banyak Perda yang tidak menyesuaikan UU yang berkaitan dengan ekonomi syariah, belum adanya aturan ASN wajib menggunakan bank syariah, belum dimasifkan nya Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ). Bila membayar zakat melalui baznas ada previllege khusus yaitu parkir gratis di mall Botani Square Bogor.
Diplomasi luar negeri juga sudah saatnya mengedepankan potensi pariwisata dan industri halal Indonesia sebagai salah satu soft diplomacy luar negeri Indonesia. Jepang saja yang notabene bukan negara Islam mempersiapkan Olimpiade Tokyo 2020 dengan menyediakan makanan halal di setiap spot stadium dan menyediakan musholla portable yang dapat digunakan ibadah bagi wisatawan muslim. Belum lagi Brazil dalam strategi diplomasi luar negerinya menggunakan kekuatan ekspor unggas halal sebagai bentuk penetrasi kepada negara lain.
Ketiga, masih rendahnya Halal Awareness masyarakat Indonesia dan masih adanya salah persepsi terhadap ekonomi syariah. Misalnya, banyak masyarakat yang bertanya seputar ekonomi syariah kepada seorang ustadz yang notabene lulusan fakultas ushuluddin atau sarjana agama yang sama sekali tidak pernah belajar ekonomi saat berkuliah. Dengan menggunakan peci, masyarakat menganggap ustadz tersebut mengetahui seluruh seluk beluk persoalan, hingga soal ekonomi. Belum lagi adanya salah persepsi bahwa ekonomi syariah itu khusus muslim aja. Bahkan ada anggapan dari teman saya yang non muslim ingin membuka atm syariah tapi takut untuk disuruh syahadat. Ini sangat keliru dan cukup menyesatkan. Islamic Economic release to promote justice and distribute wealth for everyone in the world. No poverty and no one left behind.
Contoh kasus lainnya adalah soal wisata halal danau Toba. Semenjak kejadian tenggalamnya sebuah kapal di Danau Toba, jumlah wisatawan mengalami penurunan dan tentu karena harga tiket pesawat yang meningkat signifikan. Dilansir dari merdeka.com, Direktur Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo, menyatakan kunjungan ke destinasi wisata Danau Toba turun hingga 10 persen dibanding periode yang sama tahun 2018 lalu. Penurunan jumlah wisatawan ini tentu mengakibatkan penurunan kegiatan perekonomian masyarakat setempat karena tidak adanya demand.
Wisata halal hadir sebagai salah satu konsep alternatif dalam mengatasi hal tersebut. Hal ini berdasarkan letak geografis danau Toba yang dekat dengan Malaysia, Singapura, dan Brunei. Kondisi Danau Toba yang mayoritas adalah berpenduduk nasrani tentu belum menyediakan makanan halal bagi wisatawan. Sedangkan wisatwan asal Malaysia, Singapura, dan Brunei notabene adalah muslim yang hanya mengonsumsi makanan halal. Agar wisatawan mengalami kepuasan saat berwisata dan memungkinkan berkunjung kembali maka pengelola Danau Toba tentu perlu menerapkan konsep wisata halal tersebut yang sesuai dengan kajian ilmiah terlebih dahulu dan proses sosialisasi yang baik kepada masyarakat Toba.
Pada akhirnya, cepat atau lambat, ekonomi syariah akan diterima oleh seluruh masyarakat global karena sifatnya yang alamiah dan universal. Kebenaran teorinya mampu mematahkan asumsi asumsi Mankiw, Adam Smith, John Stuart Mill, dan ekonom ekonom lainnya. Kekuatan ekonomi syariah ada pada para Da’i nya maka buka lah pemikiran seluas luasnya dan berjalanlah sejauh jauh nya agar kita mengerti bahwa kebenaran Islam itu ada di seluruh penjuru bumi.
“Bila ekonomi konvensional mampu mengubah sebuah negara maka ekonomi syariah mampu mengubah sebuah peradaban”.