Ibu & Ayah, kamu tidak sendirian!

Setiap kali mendengar kabar kehamilan atau bahkan kabar seseorang melahirkan anak pertama nya, suasana suka cita selalu mewarnai momen itu. Tak jarang, dibalik kebahagiaan itu ada segelintir orang merasakan kesedihan nya. Si calon Ibu! ya, perasaan campur aduk meliputinya mulai dari proses kehamilan hingga pasca melahirkan. “Apa iya aku bisa mengurus nya dengan baik?”, “Apa iya aku bisa jadi Ibu yg bertanggung jawab?”. “Duh! Sakit bgt perutnya, jam tidur berkurang jadi buat emosi naik turun”.

Mungkin tidak semua mengalami kondisi seperti itu tapi ada sebagian yang pernah mengalaminya. Apalagi pada saat selesai melahirkan, semua pandangan dan perhatian tertuju pada si buah hati. “MasyaAllah lucunya”, “MasyaAllah ganteng/cantik”, “Sehat- sehat yah nak”. Jarang si Ibu mendapatkan perhatian yang sama besarnya dengan si buah hati yang pada akhirnya timbul perasaan sedih dan seolah sendiri. Ibu, kamu tidak sendirian! Kamu punya orang-orang baik yang selalu siap untuk memerhatikanmu dan menjagamu sama besarnya seperti memberikan perhatian penuh pada anakmu. Ada suamimu, orang tua, mertua, kakak, adik, sepupu, dan keponakan yang selalu mewarnai perjalanan peran barumu itu.

Memang, mereka jarang mengekspresikan betapa besarnya rasa sayang dan perhatian nya kepadamu tapi ketahuilah, mereka lah orang yang selalu ada, definisi unconditional love yang sebenarnya. Namun, ada yang lebih merasa sendirian lagi dalam proses kehamilan tersebut. Ya, suami, si calon ayah. Hampir jarang kabarnya ditanyakan ketika berjumpa dengan teman kantor, teman lama, dan bahkan teman baru yang baru mengetahui kalau pasangan kita sedang hamil. “Isteri gimana bro, sehat?”, “Baby sehat bro?”, “Udah berapa minggu kandungan nya?”. Kurang lebih seperti ini pertanyaan yang sering ditanyakan, tanpa bertanya kabar dan kesehatan si calon ayah. Ayah dan Ibu tidak boleh marah dengan keadaan karena itu merupakan ujian keimanan dan ujian pengorbanan yang pertama. Kelapangan hati menjadi kunci dalam melewati proses pembelajaran itu.

Pada akhirnya, menikah memang proses upgrade diri yang luar biasa, makanya menikah itu diibaratkan seperti menyempurnakan setengah agamanya. Sedekah milyaran rupiah akan kalah dengan ibadah yang dilakukan pasca menikah karena menikahlah kita mengetahui apa itu cinta sejati, kesabaran, ketulusan, kelapangan hati untuk memaafkan, kedewasaan diri untuk meminta maaf, dan lebih memerhatikan orang lain daripada diri sendiri. Maka, jangan salah memilih pasangan hidup! Jangan lah terburu-buru untuk menentukan bahwa ia lah yang terbaik dan akan menjadi pasangan saya. Keputusan besar dalam hidup tidak perlu diambil secepat memasak daging sapi, kurang dari 3 jam. Karena, pasangan yang terbaik bukanlah ia yang memiliki kekayaan dan prestasi yang hebat melainkan mereka yang saling menguatkan dan saling mengerti atas kondisi pasangan nya sendiri.

Ibu dan Ayah, ayuk saling tanya kondisi pasangan nya satu sama lain. Tanya apa yang bisa kita bantu dan support di kondisi yang sedang dialami saat ini. Jangan biarkan pasanganmu memendam sendiri apa yang ia rasakan, komunikasikanlah dengan baik. Ibu dan Ayah, percayalah, kamu tidak sendirian!

Penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia Perlu Belajar dari Kegagalan Galileo Galilei

FEA80E46-E04C-4ABD-8E56-EB5C5F1CB3EC

Banyak yang mengira ekonomi syariah adalah bentuk “ancaman” bagi kebudayaan masyarakat suatu daerah. Montgomery Watt (1979) seorang filusuf asal Scotland pernah menyebutkan bahwa Religion tidak memiliki hubungan dengan ekonomi, politik, dan industri. Bahkan agama mengancam persoalan privat manusia dan tidak berhubungan langsung dengan kebijakan publik. Sains menggantikan agama dalam mengambil otoritas kehidupan.

Montgomery Watt (1979) menyebutkan sedangkan Dien (Agama Islam) membantu urusan publik dan privat manusia dan dapat dijadikan sebagai dasar-dasar teori politik modern serta menjadi dasar dalam berekonomi.

Hal ini lah yang menjadi pembeda antara ekonomi konvensional dan ekonomi syariah. John Stuart Mill (1836) salah satu Bapak Ekonomi Kapitalis menyebutkan bahwa Ekonomi berdasarkan premis asumsi yang tidak berdasarkan pada fondasi yang universal.

Ekonomi konvensional yang berdasarkan asumsi seseorang manusia yang notabene bisa saja keliru menjadikan ekonomi global mengalami ketidakpastian. Sedangkan ekonomi syariah yang berdasarkan sumber ilmu pengetahuan Quran, Hadist, kisah perekonomian dari para ulama terdahulu dan bersifat alamiah menjadikan ekonomi syariah memiliki fondasi yang begitu kuat.

Prof Aslam Haneef, scholars dari International Islamic University of Malaysia menyebutkan ekonomi syariah bersifat universal, generating new ideas, menggunakan akal atau intelektualitas dan mengandung value kemasyarakatan

Keren nya lagi, Allah memerintahkan kita untuk mentadaburi atau menganalisa/mengkritisi Al Quran apakah kasus ekonomi ini konteksnya sama atau tidak dengan kondisi hari ini. Tidak hanya itu, ilmu pengetahuan modern pun wajib kita analisa atau kritisi agar ekonomi syariah semakin adaptif dengan perkembangan zaman.

Saya kurang setuju bila ilmu Quran hanya diterima secara taklid dan tidak dianalisa atau dihubungkan dengan konteks kekinian dan kedisinian. Malaysia saja merombak komposisi Dewan Syariah Nasional nya yang tadinya diisi semua oleh ahli Fiqih kemudian berimbang menjadi ada ahli keuangan, akuntansi, makroekonomi dan sebagainya.

Tidak sehitam putih itu ekonomi syariah kecuali memang ayat ayat yang dengan mutlak melarang dan menharamkan nya. Selama tidak ada konteks yang mutlak, Allah memerintahkan kita untuk berijtihad secara berjamaah bukan mengedepankan ego pribadi karena saya lulusan timur tengah, saya lah yang paling tepat fatwa nya.

Hal ini berkaitan dengan Islamic Economic Worldview seseorang. Setidaknya worldview tersebut dipengaruh oleh agama, budaya, pendidikan, sejarah, geografis, dan teknologi. Agama nya sama saja tapi budaya suku nya berbeda maka sudut pandang nya bisa berbeda. Agama dan budaya nya sama namun tingkat pendidikan nya berbeda maka bisa saja sudut pandangnya berbeda.

Lantas mengapa kita memercayai sistem ekonomi kapitalis yang notabene berdasarkan asumsi dan pikiran manusia yang berbeda budaya, geografis, dan pendidikan dengan kita. Mungkin saja teori ekonomi adam smith, John Stuart Mill bagus namun sayang hanya berlaku untuk dirinya saja dan mungkin untuk lingkungan di negara asal mereka.

Bagaimana kita dapat yakin dengan sebuah sistem ekonomi yang sifatnya saja tidak universal dan bukan berdasarkan pada kejadian kejadian empiris alamiah. Wajar bila dunia hari ini mengalami ketidakpastian ekonomi, gagal mendistribusikan kesejahteraan, gagal menghadirkan keadilan bagi semua golongan, dan gagal dalam memahami konteks ekonomi secara kekinian.

Ekonomi syariah masih sulit diterima masyarakat secara luas karena adanya paradigma masa lalu yang membuat masyarakat cukup trauma, khususnya kaum sekuler. Masih ingatkah dengan kisah Galileo Galilei yang membela sains hingga dikucilkan oleh gereja?Dia mengatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bukan bumi sebagai pusat tata surya (Teori Heliosentris).

Pernyataan ini sangat ditentang oleh Gereja. Great Books of the Western menyebutkan bahwa Dia didakwa atas tiga tuduhan: melanggar larangan yang ditetapkan pada 1616, mengajarkan teori Copernicus bukan sekadar hipotesis melainkan fakta, dan meyakini teori yang dilarang Gereja. Dalam persidangan pada 1933 ia diputus bersalah atas dua tuduhan pertama.

Sejak saat itu lah, ada kubu yang anti Gereja/Agama atau dikenal sekuler yang menjunjung tinggi sains dan ada kubu yang pro dengan Gereja/Agama atau dikenal sebagai kelompok konservatif dan terkadang dituduh ekstrimis. Pengalaman sejarah ini lah yang menjadikan Ekonomi Syariah masih sulit diterima oleh banyak kalangan karena paham sekularisme dulu masih begitu kuat pengaruhnya hingga hari ini.

Padahal, agama dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain lain tidak dapat dipisahkan. Mereka telah menyatu lama secara alamiah sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai seseorang Homo Islamicus, tugas kita adalah bekerja secara inklusif dan universal agar ekonomi syariah dapat diterima bukan hanya karena perintah agama tapi karena gagasan ekonomi yang benar benar terasa dampaknya bagi masyarakat. Bukan justru membuat ekonomi syariah semakin stagnan dalam perkembangan nya.

Stagnasi ekonomi syariah di Indonesia tersebut terjadi karena beberapa faktor. Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan stagnasi tersebut. Pertama adalah kualitas sumber daya manusia lulusan ekonomi syariah. Setiap tahun, ribuan lulusan dari ratusan prodi ekonomi syariah dilahirkan namun penyerapan di industri ekonomi syariah relatif kecil.

Studi dari Prof Nurul Huda, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi dengan judul “Daya Serap Lulusan Program Studi Ekonomi Keuangan Islam Pendekatan Alignment Index dan Exploratory” tahun 2016 menyebutkan bahwa Daya serap lulusan prodi ekonomi dan keuangan Islam pada industri keuangan syariah masih banyak belum mencapai angka 40%. Lulusan prodi ekonomi dan keuangan Islam khususnya di wilayah Sumatera banyak diserap oleh industri keuangan konvensional.

Perlu adanya investasi yang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia lulusan ekonomi syariah. Tentu, kita tidak ingin lagi melihat fenomena lulusan perbankan syariah tidak diterima di Bank Syariah karena tidak lolos tes Psikotes, tes Toefl, tes kemampuan TPA, dan lainnya yang notabene tidak dipersiapkan selama ia berkuliah. Mereka hanya sibuk berdebat soal dalil dan mengkaji kaji terus sampai ia lupa hari ini sudah diwisuda oleh kampusnya dan lupa mempersiapkan softskill umum yang dibutuhkan di industri kerja. Hal sederhana saja adalah kemampuan berkomunikasi. Betapa banyak mahasiswa yang tidak mengetahui etika berkomunikasi dengan dosen nya. Menghubungi di luar jam kerja dan bahkan mengirim pesan tidak secara sempurna apa maksud dari ia menghubungi dosen nya.

Kedua, political will dari pemerintah. Belum adanya regulasi yang mewajibkan bayar zakat, belum masifnya paket paket kebijakan ekonomi yang berdasarkan ekonomi syariah, masih banyak Perda yang tidak menyesuaikan UU yang berkaitan dengan ekonomi syariah, belum adanya aturan ASN wajib menggunakan bank syariah, belum dimasifkan nya Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ). Bila membayar zakat melalui baznas ada previllege khusus yaitu parkir gratis di mall Botani Square Bogor.

Diplomasi luar negeri juga sudah saatnya mengedepankan potensi pariwisata dan industri halal Indonesia sebagai salah satu soft diplomacy luar negeri Indonesia. Jepang saja yang notabene bukan negara Islam mempersiapkan Olimpiade Tokyo 2020 dengan menyediakan makanan halal di setiap spot stadium dan menyediakan musholla portable yang dapat digunakan ibadah bagi wisatawan muslim. Belum lagi Brazil dalam strategi diplomasi luar negerinya menggunakan kekuatan ekspor unggas halal sebagai bentuk penetrasi kepada negara lain.

Ketiga, masih rendahnya Halal Awareness masyarakat Indonesia dan masih adanya salah persepsi terhadap ekonomi syariah. Misalnya, banyak masyarakat yang bertanya seputar ekonomi syariah kepada seorang ustadz yang notabene lulusan fakultas ushuluddin atau sarjana agama yang sama sekali tidak pernah belajar ekonomi saat berkuliah. Dengan menggunakan peci, masyarakat menganggap ustadz tersebut mengetahui seluruh seluk beluk persoalan, hingga soal ekonomi. Belum lagi adanya salah persepsi bahwa ekonomi syariah itu khusus muslim aja. Bahkan ada anggapan dari teman saya yang non muslim ingin membuka atm syariah tapi takut untuk disuruh syahadat. Ini sangat keliru dan cukup menyesatkan. Islamic Economic release to promote justice and distribute wealth for everyone in the world. No poverty and no one left behind.

Contoh kasus lainnya adalah soal wisata halal danau Toba. Semenjak kejadian tenggalamnya sebuah kapal di Danau Toba, jumlah wisatawan mengalami penurunan dan tentu karena harga tiket pesawat yang meningkat signifikan. Dilansir dari merdeka.com, Direktur Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Arie Prasetyo, menyatakan kunjungan ke destinasi wisata Danau Toba turun hingga 10 persen dibanding periode yang sama tahun 2018 lalu. Penurunan jumlah wisatawan ini tentu mengakibatkan penurunan kegiatan perekonomian masyarakat setempat karena tidak adanya demand.

Wisata halal hadir sebagai salah satu konsep alternatif dalam mengatasi hal tersebut. Hal ini berdasarkan letak geografis danau Toba yang dekat dengan Malaysia, Singapura, dan Brunei. Kondisi Danau Toba yang mayoritas adalah berpenduduk nasrani tentu belum menyediakan makanan halal bagi wisatawan. Sedangkan wisatwan asal Malaysia, Singapura, dan Brunei notabene adalah muslim yang hanya mengonsumsi makanan halal. Agar wisatawan mengalami kepuasan saat berwisata dan memungkinkan berkunjung kembali maka pengelola Danau Toba tentu perlu menerapkan konsep wisata halal tersebut yang sesuai dengan kajian ilmiah terlebih dahulu dan proses sosialisasi yang baik kepada masyarakat Toba.

Pada akhirnya, cepat atau lambat, ekonomi syariah akan diterima oleh seluruh masyarakat global karena sifatnya yang alamiah dan universal. Kebenaran teorinya mampu mematahkan asumsi asumsi Mankiw, Adam Smith, John Stuart Mill, dan ekonom ekonom lainnya. Kekuatan ekonomi syariah ada pada para Da’i nya maka buka lah pemikiran seluas luasnya dan berjalanlah sejauh jauh nya agar kita mengerti bahwa kebenaran Islam itu ada di seluruh penjuru bumi.

“Bila ekonomi konvensional mampu mengubah sebuah negara maka ekonomi syariah mampu mengubah sebuah peradaban”.

Dilan 1991 : Antara Bisnis dan Moral

“Kalau aku jadi Presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya, maaf, aku tidak bisa. Aku cuma mencintai Milea”. (Film Dilan 1991)

Dilan 1990, Dilan 1991, dan Milea suara dari dilan merupakan novel sastra karya Pidi Baiq. Berawal dari sebuah novel yang sempat booming pada tahun 2014 lalu, kini sempat viral juga saat ditayangkan di layar lebar tahun lalu. Semua mata bak disihir oleh akting Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla yang memerankan Dilan dan Milea. Mereka digadang-gadang menjadi ikon hubungan romantis anak remaja. Tak jarang, semua anak SMA berimajinasi kisah cintanya bisa seromantis Dilan dan Milea. Film tersebut mampu memainkan psikologis penonton nya dan mampu mendatangkan keuntungan bisnis yang sangat menggiurkan. Dilansir dari CNN Indonesia, jumlah penonton Film Dilan 1990 hampir mencapai 7 juta orang dengan biaya produksi mencapai 15 Miliar rupiah dan memperoleh keuntungan mencapai 60 Miliar rupiah.

Bahkan, menurut data dari Badan Ekonomi Kreatif (BeKraf) RI, industri kreatif pada tahun 2018 menyumbang Rp 1.100 Triliun atau hamper 10% dari total PDB Indonesia. Hampir mendekati Amerika Serikat (11,12 persen terhadap PDB) dan Korea Selatan (8,67 persen terhadap PDB) tetapi ada di atas Rusia (6,05 persen terhadap PDB), Singapura (5,7 persen terhadap PDB), Filipina (4,92 persen terhadap PDB), dan Kanada (4,5 persen terhadap PDB). Dan Film menjadi sektor dengan pertumbuhan terbesar kedua dari Industri kreatif. Sebuah fakta yang tidak dapat terbantahkan bahwa film mampu membangun negeri, termasuk film Dilan 1990.

Tidak hanya itu, ‘Dilan 1990’ bisa disebut sebagai film terlaris kedua sepanjang masa sejak 2007 sampai 2018. Menurut data dari filmindonesia.org, film yang dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla itu pun berhasil mengalahkan film terlaris di 2017 yaitu ‘Pengabdi Setan’ dengan 4,2 juta penonton. Dilan 1990′ berhasil menduduki peringkat kedua dengan jumlah penonton terlaris sejak 2007. Posisi pertama masih diduduki oleh film ‘Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1’ yang mendapatkan jumlah penonton sebanyak 6,8 juta di 2016. Bahkan, film Dilan 1990 sempat ditonton oleh Presiden Joko Widodo dan beliau mengapresiasi film tersebut. Luar biasa! Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi untuk sebuah film karya anak bangsa. Setelah sukses penayangan Film Dilan 1990, kini masyarakat Indonesia disuguhkan Film Dilan 1991.

Namun, di balik pencapaian yang luar biasa tersebut, terdapat pro-kontra atas penayangan film tersebut, khususnya pada film Dilan 1991. Misalnya, Pemutaran perdana film Dilan 1991 di Kota Makassar, Sulawesi Selatan mendapat penolakan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan Nasional. Sejumlah adegan dianggap mempertontonkan hal yang tak bermoral. Para demonstran menilai ada sejumlah adegan dalam film Dilan 1991 yang melanggar hukum. Misalnya, mempertontonkan adegan yang tidak layak untuk budaya Bugis-Makassar. Khususnya adegan kekerasan di lingkungan sekolah antara murid dan gurunya serta adegan berciuman.

Film Dilan 1991 dinilai oleh para demonstran sebagai bentuk cerminan kondisi moral anak remaja Indonesia saat ini. Bila film ini terus ditayangkan, mereka khawatir angka kerusakan moral semakin meningkat karena terinspirasi dari film tersebut. Bila kita melihat data dari World Contraception Day Coalition tahun 2017, jumlah kehamilan yang tidak dikehendaki di dunia ternyata cukup fantastis. Tiap tahunnya, ada 80 juta kelahiran dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Lebih tragis lagi, separuh di antaranya berakhir dengan aborsi. Cukup mengerikan karena setiap tahunnya terjadi 40 juta kasus aborsi. Jika dirinci lebih jauh lagi, 16 juta kelahiran tersebut berasal dari wanita usia muda antara 15 sampai 19 tahun. Usia yang rentan dan berisiko tinggi untuk melahirkan. Lalu bagaimana di Indonesia? Data BKKBN tahun 2016 merilis terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya. Jumlah 4 juta kelahiran ini setara dengan penduduk Singapura. Tentu, semua itu berawal dari pacaran dan kehidupan seks bebas yang kondisi nya semakin mengkhawatirkan. Memang, belum ada studi ilmiah mengenai dampak menonton film Dilan 1991 terhadap meningkatnya angka seks bebas dan sebagainya. Akan tetapi, setidaknya film tersebut sudah menginspirasi anak remaja Indonesia untuk bersikap romantis dan mungkin berpacaran.

Di sisi lain, menurut Kemendikbud RI, film Dilan 1991 telah dinyatakan lulus sensor oleh lembaga sensor film Indonesia. Terlepas dari telah lulus sensor atau tidaknya, ingatan masyarakat Indonesia masih cukup jelas terhadap tayangan acara Smackdown tahun 2006 silam. Tayangan tersebut dinyatakan “lulus sensor” entah bagaimana caranya dapat dikatakan lulus. Tayangan tersebut membuat anak-anak SD merenggut nyawanya akibat meniru adegan yang ada pada acara tersebut. Salah satu korban nya adalah Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cingcing Ketapang, Soreang, Bandung (meninggal 16 November 2006). Ini menjadi bukti bahwa sebuah film maupun tayangan tv dapat berdampak buruk bagi pihak yang menontonnya, apalagi terdapat adegan-adegan yang tidak sesuai dengan nilai moral dan agama. Tidak hanya film Dilan 1991 saja, semua sinetron yang ada di televisi juga dapat turut andil memberikan contoh yang bisa jadi kurang baik.

Seharusnya, film yang beredar adalah film yang mampu meningkatkan kesadaran masyarakat menjadi lebih baik. Misalnya, Film The Day After Tomorrow. Film tersebut meyakinkan penonton untuk memperhatikan perubahan iklim. Film yang dirilis pada 2004 garapan Roland Emmerich ini, dibintangi Dennis Quaid, sebagai ilmuwan iklim yang harus menyelamatkan putranya dari badai perubahan iklim. Menurut sebuah studi oleh para peneliti di Yale University, Film ini memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi risiko perubahan iklim, model konseptual, niat perilaku, prioritas kebijakan, dan bahkan penilaian dari penonton bioskop. Pada dasarnya, film itu membuat penonton merasa khawatir. Sehingga membuat mereka lebih peduli tentang perubahan iklim, untuk berpikir dua kali bagaimana mereka mempengaruhi lingkungan. (IDN Times 2018)

Sebagai masyarakat yang menganut budaya Timur, kita sebaiknya bijak dalam memilih tayangan yang layak untuk ditonton, terutama untuk anak remaja dan anak di bawah umur. Film karya anak bangsa harus terus didukung namun semua pihak harus selalu berbenah diri bila ada kekurangan. Orang tua harus selalu mengawasi anak-anaknya dalam menonton tayangan di tv maupun di bioskop. Produsen film harus menyesuaikan nilai norma dan moral bangsa Indonesia atas karya film yang dibuatnya. Pemerintah harus berani menindak tegas apabila ada hal hal yang tidak sesuai regulasi yang berlaku. Menonton Film Dilan 1991 merupakan sebuah pilihan bukan sebuah konteks yang hitam putih seperti benar atau salah. Menjadi salah bila yang menonton belum mencukupi umur atau sudah mencukupi umur kemudian meniru 100% dari film tersebut di kehidupan sehari-hari nya. Bila kita melihat sudut pandang lain, Film Dilan 1991 justru ingin menyampaikan pesan kepada anak muda Indonesia bahwa kekerasan, tawuran, pergaulan bebas adalah produk masa lalu (1991) yang sudah kadaluwarsa dan layak untuk kita tinggalkan bersama.

Pada akhirnya, Film Dilan 1991 juga mengajarkan kepada kita semua bahwa yang selalu bersama setiap hari belum tentu akan menjadi teman hidup kita sampai akhir hayat nanti. Pacaran sama dengan menunda putus dan mungkin menjaga jodoh orang lain. Bad Boy (Dilan) tidak layak disandingkan dengan Milea yang notabene adalah anak lugu, polos, baik hati, dan anak rumahan. Hal ini sesuai dengan “Laki-laki baik hanya untuk perempuan baik dan begitu sebaliknya”. Terima kasih Dilan 1991, dari kamu, kami semua belajar bahwa cinta sejati itu bukan mengutarakan kalimat gombal nan puitis akan tetapi mendatangi ayahnya dan menyatakan “Saya siap bertanggung jawab dunia akhirat atas anak bapak”. Dan kalimat gombalmu di atas itu salah Dilan, karena mencintai seluruh rakyat Indonesia adalah cara terbaik untuk mencintai seorang Milea agar tetap tersenyum haru dan bangga. Kemudian, Milea (cita-cita Milea jadi pilot) benar bahwa cita-cita itu bukan menikah karena menikah adalah awal dari menggabungkan kekuatan dua insan untuk membangun negeri dan bukan menjadi tujuan atau cita-cita akhir. Kalau menikah menjadi cita-cita maka kita boleh mengakhirinya karena sudah tercapainya cita-cita itu. Semangat selalu untuk mencari tulang rusukmu wahai insan yang konon akan bertanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Mencari nafkahlah (Berbisnis) dengan sesuai nilai norma agama dan moral karena kelak kita akan mewariskan generasi yang bermoral baik.

“Bila rindu itu berat maka sesungguhnya yang lebih berat itu bukan rindu melainkan perkataan dan perbuatan menjadi selaras sehingga sosok yang teladan.”

Mendukung Wisata Halal di Bali, Benarkah Mengancam Kebudayaan Bali?

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman dan kebudayaan nya. Menurut data BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa, 1.211 bahasa daerah, dan ribuan kebudayaan lainnya. Sungguh, tidak ada yang meragukan keberagaman dari Indonesia. Dengan menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika, persatuan itu lahir di antara keberagaman-keberagaman yang sangat besar. Tidak perlu untuk dilestarikan melainkan bangsa Indonesia harus senantiasa menghayati kebudayaan nya masing-masing karena melesatrikan identik dengan kepunahan. Lantas, bagaimana bila kebudayaan itu bertentangan dengan agama yang diyakini? Salah satu yang dikhawatirkan akan mengganggu kebudayaan adalah konsep wisata halal. Konsep wisata halal adalah suatu pengintegrasian nilai-nilai keislaman ke dalam seluruh aspek kegiatan wisata. Nilai syariat Islam sebagai suatu kepercayaan dan keyakinan yang dianut umat muslim menjadi acuan dasar dalam membangun kegiatan pariwisata. Wisata halal mempertimbangkan nilai-nilai dasar umat muslim di dalam penyajiannya mulai dari akomodasi, restaurant, hingga aktifitas wisata yang selalu mengacu kepada norma-norma keislaman (Tourism Review 2013).

Beberapa hari terakhir ini, jagat lini masa dihebohkan dengan pernyataan calon wakil presidenn nomor urut dua mengenai usulan wisata halal di Provinsi Bali. Ide ini langsung dapat penolakan dari Gubernur Bali, I Wayan Koster, pengusaha Bali, Kepala Dinas Pariwisata Bali, dan beberapa petinggi partai politik pendukung petahana. “Saya kira untuk Bali sudah ada branding-nya sesuai kearifan lokal Bali. Karakter Bali yaitu pariwisata berbasis budaya. Saya kira nggak perlu lagi kita mengembangkan branding yang lain, justru itu akan mempersempit dan mengecilkan branding sejenis yang sudah ada di Bali, wisata budaya,” ujar Koster di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Bali, Jl Tjok Agung Tresna, Denpasar, Bali, Selasa (26/2) (detik.com, 2019). Pernyataan Sandiaga Uno memang cukup kontroversial. Pasalnya, selama ini Bali terkenal akan wisata budaya dan identik dengan agama Hindu. Namun, sebagai masyarakat Indonesia sebaiknya tidak langsung menolak mentah-mentah ide tersebut karena perkembangan pariwisata halal dunia sangat menjanjikan bagi pendapatan ekonomi secara nasional.

Berdasarkan data WTTC (2016) dan World Bank (2016), sektor pariwisata berkontribusi 10 persen terhadap Produk Nasional Bruto (PDB) nasional. Hal ini menjadi yang tertinggi di ASEAN karena PDB pariwisata nasional tumbuh 4,8 persen dengan tren meningkat sampai 6,9 persen. Jauh lebih tinggi daripada dari sektor lain, seperti industri agrikultur, manufaktur otomotif dan pertambangan. Kemudian, Thomson Reuters-State of the Global Islamic Economy mencatat selama tahun 2017, penduduk Muslim melakukan perjalanan wisata mencapai 177miliar dolar AS dan diperkirakan akan mencapai 274miliar dolar AS pada tahun 2023.

Besarnya potensi pariwisata halal tersebut, membuat berbagai negara negara lainnya berlomba-lomba meyakinkan para wisatawan agar mengunjungi negaranya. Bahkan, Arab Saudi dan Oman membangun visi 2030 dan 2040 yang menginginkan pariwisata menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Arab Saudi ingin umat islam tidak hanya sekedar ziarah yang tujuan bagi umat Islam saat pergi haji dan umrah. Arab Saudi meminta pengunjung memperpanjang kunjungan mereka ke situs keagamaan, sejarah dan budaya lainnya. Sementara itu, Kementerian Pariwisata Oman terus melakukan pembangunan hotel. Oman membutuhkan 80.000 kamar baru pada tahun 2040 untuk mencapai target 11,5 juta pengunjung sebagai bagian dari Strategi Pariwisata 2040. Lalu Pengembang properti terkemuka Kuwait, Tamdeen Group, tengah menyiapkan pembangunan pusat belanja tepi laut dan pusat hiburan senilai 824 juta dolar AS. Proyek ini akan mencakup belanja mal, fasilitas hiburan, taman, dan hotel bintang lima.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang notabene sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia? Menurut Global Muslim Travel Index(GMTI) pada tahun 2018, Indonesia menempati peringkat dua dengan predikat destinasi wisata halal dunia sekaligus menjadi destinasi paling ramah terhadap wisatawan muslim dan ditargetkan menjadi peringkat pertama pada tahun 2019. Menurut data Kementerian Pariwisata pada tahun 2017, Indonesia berhasil menjaring 1,95 juta wisman ‘halal tourism’ atau tumbuh 15 persen dengan perolehan devisa mencapai Rp27 triliun. Indonesia saat ini memiliki 10 Destinasi Prioritas Pe­ngem­bangan Pariwisata Halal, antara lain Aceh, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan.

Bila melihat potensi tersebut, Indonesia sudah sepatutnya untuk ambil peran sebagai pemain aktif bukan hanya sebagai pasar yang besar saja. Bahkan negara-negara non-muslim sudah melakukan deklarasi sebagai pemain dalam industri halal dunia. Thailand yang notabene negara dengan mayoritas agama Buddha, mengklaim sebagai Halal Kitchen in The World, Korea Selatan sebagai negara dengan destinasi wisata halal terbaik dunia, padahal jumlah muslim hanya 150.000 orang dari total populasi mencapai 51,47 juta jiwa. Kemudian, Brazil sebagai negara eksportir unggas halal terbesar di dunia, dan Australia sebagai eksportir daging sapi halal tebesar di dunia. Lantas, apakah negara dengan mayoritas non-muslim tersebut secara otomatis kebudayaan nya mengalami kemunduran atau degradasi? Rasanya tidak dan kebudayaan nya tetap dapat tumbuh dengan baik. Bahkan, dapat beriringan dengan perkembangan wisata halal. Saat saya mengunjungi Kyoto dan Seoul beberapa waktu lalu untuk menghadiri konferensi di sana, bandara Kansai di Osaka sudah memiliki musholla, restoran halal dan peta wisata halal. Begitu pun juga dengan seoul.

Sejatinya, wisata halal bertujuan untuk memenuhi hak-hak kemanusiaan sebagai umat beragama. Budaya adalah produk manusia dan agama adalah produk Allah. Berbeda namun saling berkaitan, yaitu kemanusiaan. Jumlah umat Islam dunia yang mencapai 1,8 miliar jiwa punya hak untuk menjalani agama nya sebagaimana agama lain memiliki hak untuk menjalankan agama nya. Apalagi, umat Islam di Indonesia yang jumlahnya kurang lebih 200 juta jiwa juga memiliki hak untuk dipenuhi kebutuhan mengonsumsi produk yang halal. Meskipun Bali adalah provinsi dengan mayoritas penduduk Hindu akan tetapi ada jutaan wisatawan muslim lainnya yang berwisata dan bahkan membantu perekonomian Bali. Padahal, selama ini banyak pihak yang berteriak toleransi ketika hak-hak minoritas tidak dipenuhi. Umat Islam hanya meminta penjaminan kehalalan produk yang dikonsumsinya saat berwisata bukan untuk mengubah Bali menjadi tempat yang harus menegakan hukum-hukum Islam.

Pemenuhan hak ini bukan tanpa dasar yang tidak jelas atau tidak berdasar. Contohnya, Malaysia saja mulai tahun 2019 ini sudah mulai melarang penumpang pesawat mengangkut daging Babi ke Malaysia. Pelarangan ini karena Babi di China terjangkit virus ASF. Virus ini pertama kali terdeteksi di provinsi Liaoning timur laut dan kini telah mencapai peternakan di luar kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing. Pemusnahan lebih dari 600.000 babi menjelang perayaan Tahun Baru Imlek. Tahun 2018 ini saja ada lebih dari 360.000 kasus global ASF di 19 negara, termasuk wabah besar di Rusia, Rumania, dan Pantai Gading. Ini salah satu contoh bahwa makanan yang dilarang (Babi) dalam Agama Islam menyumbang masalah kesehatan bagi manusia.

Pemerintah Provinsi Bali harus melihat ide ini secara objektif dan komprehensif. Tidak boleh melihat persoalan tersebut dari kacamata politik identitas yang beberapa tahun terakhir ini cukup meningkat di Indonesia. Pemerintah pusat saja berjuang keras agar pariwisata Halal di Indonesia dapat bersaing secara global dan menunjukkan kelasnya sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Meskipun Bali tidak termasuk dalam 10 destinasi wisata halal Indonesia, namun tidak ada salahnya bila di masa mendatang, Bali turut ambil bagian menjadi destinasi wisata halal. Melihat tingkat popularitas Bali yang tinggi bagi masyarakat dunia, pengembangan wisata halal di sana akan bekembang sangat baik dan pesat di masa mendatang. Penerapan wisata halal di Bali juga akan menunjukkan keberagaman yang sangat baik bagi percontohan dunia. Bali saja yang mayoritas beragama Hindu mau untuk memenuhi hak-hak umat Islam dalam berwisata. Citra ini akan semakin menunjukkan kepada dunia bahwa Bali dan Indonesia benar-benar menjunjung tinggi asas Bhinneka Tunggal Ika dan bukan hanya sekedar jargon saja.

Pada akhirnya, Indonesa harus membangun negerinya dengan standard bangsa Romawi, Bangsa Persia, Bangsa Arab, Bangsa Yunani Kuno, dan Bangsa Mesopotamia membangun peradaban nya. Berbeda agama, suku, dan ras bukan kemauan kita sebagai manusia. Memang sudah diciptakan oleh-Nya menjadi beragam karena hal itu adalah bagian dari ujian untuk umat manusia agar saling mengenal, saling memahami, saling tolong menolong, dan saling bertukar pikiran dalam membangun bangsanya masing-masing. Tentu, kita sangat menghargai dan menghormati kebudayaan Bali yang sangat kaya dan sangat bersejarah. Akan tetapi, Bali juga harus menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh perbedaan di dunia ini. Ini bukan soal politik untuk membela salah satu calon dalam pilpres 2019. Ini lebih dari sekedar itu karena Indonesia harus berkembang dan tumbuh dengan memenuhi hak-hak warganya dalam memeluk agamanya, apapun agama itu. Pelangi saja tidak satu warna dan antar warna memiliki garis-garis yang membedakan warna yang satu dengan yang lain. Garis-garis itu yang menjaga keindahan dari pelangi dan garis-garis itu bernama toleransi. Indonesia indah karena ada garisnya bukan karena memaksakan perbedaan itu melebur menjadi satu kesatuan. Pelangi bila melebur warnyanya berubah menjadi putih tidak warna warni lagi. Mari kita tingkatkan rasa saling memahami dan meningkatkan pengetahuan kita agar tidak menyatakan pendapat secara terburu-buru.

“Bila Ekonomi Konvensional mampu mengubah suatu negara maka Ekonomi Syariah mampu mengubah sebuah peradaban”.

Menjadi Da’i Traveler di Korea Selatan

Sejatinya, setiap muslim yang dilahirkan di muka bumi ini adalah seorang da’I yang membawa misi syiar agama Islam. Namun, seringkali, da’I hanya identik dengan istilah ustadz ataupun seorang kyai. Padahal, makna da’I itu sendiri bukan hanya sekedar menyampaikan firman Allah SWT ataupun Hadist Rasulullah SAW. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan, atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut Islam. Dengan kata lain, da’I konteks masa kini adalah seorang muslim influencer.

Anak muda muslim harus mampu menjadi influencer di manapun ia berada. Baik di dunia nyata maupun di sosial media. Setiap postingan tentu dapat menginspirasi ratusan bahkan ribuan anak muda lainnya. Hal ini lah yang disebut sebagai generasi cerdas karena mampu memanfaatkan sosial media nya bukan hanya sekedar curhat, mengeluh, pamer harta, pencitraan yang berlebihan dan bahkan membuat hoax. Niscaya, perubahan dapat dimulai dari jari jemari kita karena anak muda muslim yang menjadi influencer dapat menjadi perantara orang lain dalam menjemput hidayahnya bahkan dapat mengubah sebuah kebijakan negara.

Seperti hal nya negara Korea Selatan. Korea Selatan merupakan sebuah negara yang perkembangan industri halal nya berkembang cukup pesat. Korea Trade-Investment Promotion Agency (Kotra) telah mendata ada 114 restoran Muslim di Korea Selatan (Korsel). Jumlah ini dipastikan akan terus meningkat, karena Korea Selatan terus menggali potensi industri produk bersertifikat halal (Tirto.id, 2016). Kemudian, Data Kementerian Pertanian Korea Selatan menyebutkan, ekspor produksi halal pada 2010-2014 mengalami kenaikan pesat sekitar 69,3 persen dengan nilai lebih dari Rp11,9 triliun. Jumlah ini melampaui target pertumbuhan ekspor pertanian dan makanan yakni 51,5 persen. Padahal, mayoritas penduduk Korea Selatan beragama Buddha dan hanya 150.000 orang beragama Islam.

Perkembangan yang pesat ini tidak lepas dari pengaruh konflik anatara China dan Korea Selatan yang terjadi karena Pemerintah Kota Seoul setuju untuk memasang pencegat rudal Pertahanan Terminal Dataran Tinggi (THAAD) milik Amerika Serikat (AS) di wilayahnya. Meskipun Seoul maupun Washington berpendapat bahwa sistem THAAD tersebut hanya memiliki kemampuan pertahanan, Beijing khawatir mengenai pengepungan AS dan kemampuan radar sistem tersebut yang sangat canggih. Padahal, China adalah rekan dagang terbesar Korea Selatan. Dengan adanya konflik tersebut, China melakukan pemboikotan ekonomi terhadap Korea Selatan dan bahkan Pemerintah China melarang warganya berwisata ke negara tersebut. Dampaknya, jumlah wisatawan China merosot hingga 60 persen pada sembilan bulan pertama dibandingkan dengan tahun 2016, menurut perkiraan yang dikeluarkan oleh Bank Korea. Bisnis-bisnis milik Korea Selatan juga menderita akibat boikot dan pemblokiran yang dilakukan China. Situasi ini terutama sangat sulit bagi perusahaan besar Lotte, yang telah memperbolehkan lahannya untuk digunakan untuk memasang sistem THAAD.

Konflik tersebut merupakan dampak dari seorang influencer yaitu Presiden Korea Selatan Park Geun-Hye yang lebih memihak kepentingan Amerika dibandingkan kepentingan China. Dalam konteks Islam, menjadi seorang traveler dapat mengubah dunia Islam di negara yang minoritas beragama Islam. Bayangkan, kalau anak muda atau muslim influencer membuat gerakan travelling ke negara minoritas muslim secara masif, maka pasti akan membuat kebijakan negara tersebut berubah. Misalnya ada ribuan bahkan jutaan wisatawan muslim yang berkunjung ke negara tersebut. Negara tersebut tentu akan membuat kebijakan pariwisata yang ramah muslim dan membangun tempat-tempat ibadah di hampir seluruh lokasi wisata mengingat kunjungan wisatawan muslim begitu banyak. Di sini lah menjadi peluang kebangkitan Islam dari traveller effect dan ekonomi wisata serta peluang seorang muslim menjadi da’I di negara tersebut. Tingkatan selanjutnya bukan hanya sekedar menjadi seorang traveler akan tetapi anak muda Islam harus menjadi Da’I Traveler.

Da’I Traveler adalah seorang muslim yang melakukan perjalanan wisata untuk kegiatan rekreasi dan dakwah diplomasi melalui kunjungan wisata, publikasi halal review di sosial media, dan edukasi Islam dengan masyarakat yang ia temui. Adapun hal hal yang harus dipersiapkan ketika menjadi seorang Da’i Traveler di antaranya adalah memiliki pengetahuan mengenai tempat yang menjual makanan halal di tempat wisata negara setempat dan tempat ibadah, memiliki kemampuan komunikasi bahasa Inggris yang lancar, memiliki itenary atau rencana kunjungan ke tempat yang dapat direview aspek halalnya, menyampaikan aspirasi kepada KBRI setempat atau pihak federasi muslim negara setempat terkait masukkan terhadap aspek halalnya, membawa kamera untuk membuat vlog, membawa cinderamata yang menunjukkan keislaman untuk menjadi hadiah bagi masyarakat yang ditemuinya, selalu membawa alat sholat, melakukan survey terhadap pedagang makanan yang ada di sana baik yang sudah memiliki label halal ataupun yang belum, mencatat setiap pelajaran yang didapatkan untuk nantinya dibuat sebuah tulisan yang mampu mengubah pandangan masyarakat, menggelar kegiatan pengajian bersama masyarakat muslim di sana, dan menyampaikan hasil halal review melalui postingan instagram.

Penulis merasakan manfaat dan pengaruh dari hal-hal tersebut. Tanggal 14-18 November lalu, penulis mengikuti kegiatan 7th Shariah Economic Excursion Seoul, South Korea yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ekonomi Syariah IPB (SES-C) dan Departemen Ilmu Ekonomi Syariah IPB. Selama berada di Seoul, penulis berkunjung ke beberapa tempat. Di antaranya adalah KBRI Seoul, Seoul Global Center, Korean Muslim Federation, Ikatan Keluarga Muslim Indonesia di Korea, Indonesian Muslim Society in Korea, Myeongdong Street, dan Talent Cosmetic. Dalam perjalanan nya, penulis menemukan pengetahuan baru bahwa perkembangan industri halal di Korea Selatan motif utamanya adalah untuk ekspor dan hal ini membuat pasokan makanan halal untuk kebutuhan domestik masyarakat muslim di Korea Selatan perlu ditingkatkan kembali. Selain itu, pemasok ayam halal paling besar justru dari negara Brazil yang notabene negara minoritas muslim.

Pada akhirnya, adanya makanan halal dan haram itu diciptakan oleh Allah untuk menguji keimanan kita. Lebih cinta makanan atau lebih mencintai Allah SWT. Dan menjadi Da’I Traveler adalah manifestasi dakwah anak muda masa kini dan sudah seharusnya inspirasi serta prestasi kita digunakan untuk mensyiarkan agama Allah. Lewat travelling, anak muda Islam dapat mengubah dunia, bukan hanya sekedar melihat dunia yang penuh fatamorgana. Lewat ekonomi pula, Islam akan kembali Berjaya bukan melalui angkat senjata karena sejatinya, senjata yang paling berbahaya bukan lah sniper yang paling canggih akan tetapi pemikiran anak muda yang berjuang untuk menegakkan agama Allah di muka bumi ini. Fantashiru fil Ardh, begitu kata Allah dalam firman –Nya. Allah ingin menunjukkan kepada hamba nya bahwa menjadi Da’I Traveller dapat meningkatkan semangat membangun negeri sendiri, belajar perkembangan negara lain, belajar adat dan moral suatu negara, dan menjalin silaturrahim dengan sesame saudara muslim. Penulis percaya bahwa di masa depan nanti kebangkitan Islam akan di mulai dari negara bukan muslim tetapi menjalankan substansi dari syariat Islam dan kebangkitan itu terjadi karena banyaknya muslim yang melakukan travelling ke seluruh penjuru dunia.

Ditetapkan di Munas UPI, Presidium Nasional FoSSEi Sepakat Mengusung Gerakan Berbenah Bersama untuk Periode 2018-2019

IMG-20180915-WA0095

Musyawarah Nasional Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam merupakan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh FoSSEI. Tahun 2018 ini, munas FoSSEI diselenggarakan di kampus perjuangan, Universitas Pendidikan Indonesia. Munas tersebut merupakan munas yang ke 16 dengan mengusung tema “Optimizing Socio Techno Finance for SMEs Development”. Kegiatan tersebut berlangsung dari tanggal 12-16 September 2016 dengan agenda utama adalah persidangan dan seminar nasional. Acara tersebut diawali dengan opening ceremony yang meriah dan diiringi oleh tarian khas sunda. Acara tersebut langsung dibuka oleh Dr. H. M. Solehuddin, M.pd. dengan menyambut mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tercatat ada 157 delegasi dari 75 kampus turut memeriahkan agenda regenerasi tahunan tersebut.

Musyawarah nasional dibuka oleh pimpinan sidang dan dilanjutkan dengan pemaparan laporan pertanggung jawaban dari Presidium Nasional FoSSEi 2017-2018. Pemaparan tersebut berlangsung selama 3,5 jam dan diwarnai dengan banyak perbedaan pendapat. Namun pada akhirnya, laporan pertanggung jawaban tersebut diterima oleh para peserta penuh. Momen suka cita dan haru mewarnai proses penerimaan LPJ tersebut. Ucapan selamat dan pelukan hangat menjadi pemandangan yang indah saat itu. Proses regenerasi pun berjalan dengan khidmat dan baik.

Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan pemaparan calon Presidium Nasional FoSSEI. Masing-masing calon memaparkan grand design selama tujuh menit. Respon peserta pun cukup beragam. Ada yang optimis dan semangat dengan program yang disampaikan, ada pula yang skeptis dengan program-program yang disampaikan. Namun hal tersebut merupakan dinamika yang biasa di dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi sebesar FoSSEI. Setelah semuanya selesai memaparkan, keenam calon Presidium Nasional FoSSEI melakukan proses fit and proper test yang berlangsung di Masjid Al Furqon, UPI Bandung. Fit and proper test tersebut mulai dari soal kondisi ruhiyah, keilmuan atau wawasan mengenai ekonomi syariah, kepemimpinan, hingga persoalan kaderisasi organisasi.

Proses tersebut baru selesai pada pukul 02.30 pagi dan pada pagi harinya tiba saatnya pengumuman hasil seleksi calon Presidium Nasional FoSSEi 2018-2019. Hingga akhirnya terpilih lima Presidium Nasional FoSSEI 2018-2019, yaitu Irsyad Al Ghifari (IPB), Gilang Fatihan (UGM), M. Haqqi Hudan (Unibraw), Prayudi Ibrahim (Unri), dan Halwani (STEI SEBI). Kelima Presidium Nasional ini sepakat membawa tagline #BerbenahBersama untuk kepengurusan mendatang dengan simbol jari kelingking. Mereka percaya bahwa bila seluruh persoalan di FoSSEI dilakukan secara berbenah bersama maka apapun persoalannya akan terasa mudah dan jari kelingking menandakan komitmen serta simbol persatuan untuk menjalaninya. Maka, pada akhirnya seluruh kader FoSSEI haru berhenti menghujat, mari berbenah bersama!

 

 

Satu Langkah Menuju Kebangkitan Ekonomi Syariah di Indonesia

apflc.png

Perhelatan pilpres mulai menghangat dan masing-masing kandidat telah mendaftarkan diri untuk mengikuti pilpres 2019. Suka cita mengiringi pada saat proses pendaftaran berlangsung, baik dari kubu petahana maupun dari kubu oposisi. Tentu, fanatisme dari kedua kubu terlihat sangat jelas namun masih sesuai dengan batasnya. Sebetulnya, proses yang lebih menegangkan terjadi saat dua hari menjelang pendaftaran di KPU. Tidak terbantahkan, politik pragmatis dan transaksional lah yang digunakan dalam proses tersebut.

Dalam kata pengantar buku The Will to Believe (1903), James menulis pragmatisme sebagai empirisme radikal. Dengan empirisnya James memaksudkan sebagai pandangan yang “contented to regard its most assured conclusions concerning matters of future experience “. Menurut James, pragmatisme menjadi sebuah ajaran yang radikal di Amerika Serikat dan telah digunakan sebagai salah satu way of life. Tidak mengenal identitas ataupun agama, asalkan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya dan ia dapat meyakini bahwa hal tersebut mampu mendatangkan “kemenangan” bagi dirinya.

Tentu, rasionalitas menjadi pertimbangan mendasar dalam menentukan siapa cawapres dari kedua kubu. Kubu petahana yang didukung oleh 9 partai politik tentu menginginkan sosok wapres yang bukan dari partai politik karena akan menimbulkan kecumburuan, sosok cawapres yang lebih senior dari petahana dan tidak berpotensi untuk maju di pilpres 2024. Bila sosok Mahfud MD yang dipilih maka akan terjadi resistensi pada loyalis-loyalis Cak Imin yang notabene mereka sempat mengalami konflik saat PKB terpecah menjadi kubu Gus Dur dan kubu Cak Imin. Mahfud MD tentu loyalis setia Gus Dur yang saat itu bersebrangan dengan kubu Cak Imin dan beliau sangat berpotensi untuk maju di pilpres 2024 mengingat usianya saat ini baru 61 tahun.

Petahana pada akhirnya memutuskan untuk memilih KH Ma’ruf Amin. Beliau merupakan Kyai yang sangat dihormati dan disegani oleh seluruh ulama-ulama di Indonesia. Tentu, ini strategi untuk meredam isu intoleransi dan SARA yang selama ini menghantui petahana. Keputusan ini juga dapat ditafsirkan sebagai indikasi bahwa petahana telah kalah satu poin. Secara tidak langsung ia mengakui bahwa suara Ulama sangat menentukan kemenangan dirinya bukan lagi alat-alat kekuasaan nya. Fenomena ini dapat dikneal dengan istilah Politik Islam yang memang sedang menjadi fenomena di seluruh dunia. Seperti di Tunisia, Turki, Malaysia, United Kingdom, Russia, Belanda, Trinidad Tobago, Albania dan negara barat lainnya yang ditandai dengan semakin banyak nya pemimpin muslim.

Berbeda dengan petahana, oposisi lebih kompleks lagi dalam menentukan siapa cawapresnya. Sempat masuk bursa, yaitu Ustad Abdul Somad, Habib Salim, AHY, Zulkifli Hasan dan Anies Baswedan. Tentu, cawapres oposisi pun rasanya sulit dari tokoh partai politik. Fenomena Ustad Abdul Somad yang lebih kita kenal sebagai Somad Effect pun sempat digadang-gadang menjadi cawapres oposisi. Namun, Ustad Abdul Somad menolak dan lebih memilih berdakwah jadi ustad saja sampai mati. Tentu, beliau memahami kondisi nya dan kondisi keluarganya sehingga menolak tawaran tersebut. Nama lain yang mencuat adalah putra mahkota SBY. Namun, hal ini juga sulit mengingat selama setahun terakhir ini, SBY sebetulnya lebih sering berkomunikasi dengan kubu petahana dan Gerindra sudah sangat intim dengan PKS dan PAN. Apalagi, AHY juga berpotensi maju di pilpres 2024 dan kemungkinan besar akan menjadi lawan Prabowo apabila terpilih di 2019 nanti.

Faktor latar belakang militer yang sama juga menjadi hambatan dan hubungan partai demokrat dengan kelompok-kelompok Islam juga dinilai memiliki track record yang tidak terlalu baik. Aplalagi, Imam Besar FPI, Habieb Rizieq Shihab pernah dipenjarakan  beberapa kali oleh rezim SBY saat itu. Kemudian oposisi menawarkan posisi cawapres itu kepada Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta saat ini. Rasanya juga sulit bila Anies menjadi wakil nya karena posisi Gubernur DKI Jakarta jauh lebih strategis daripada posisi Wakil Presiden RI. Benar saja, Anies menolak. Kubu oposisi mengalami kebuntuan yang sangat sulit dan tiba-tiba datang sosok yang tak terduga, Sandiaga Salahuddin Uno.

Tentu, ini pilihan yang sangat rasional namun mengejutkan dan bahkan mungkin mengecewakan sebagian masyarakat Jakarta. Menjadi rasional karena Sandiaga merupakan sosok yang didukung banyal ulama saat Pilkada DKI bersama Anies, pemberitaan nya paling banyak ketiga setelah Presiden RI dan Gubernur Jakarta, konglomerat dengan kekayaan 4,3 Triliun rupiah menurut laporan Globe Asia tahun 2018, masih muda, ganteng dan santun karakternya, jumlah pemilih perempuan mencapai 97 juta orang yang tentu masih banyak memilih karena pertimbangan paras wajah dan kesantunannya, serta yang paling penting adalah ia mampu menguasai ekonomi kerakyatan.

Tidak terbayangkan bila oposisi juga memilih ulama menjadi cawapresnya. Indonesia akan semakin terpecah belah, masyarakat akan menghujat ulama yang tidak didukungnya dan politik identitas akan semakin membabi buta. Pada fase ini, masyarakat Indonesia berterima kasih kepada Pak Jokowi yang telah memilih ulama sebagai wakilnya, tentu ini sebuah kehormatan bagi umat Islam Indonesia. Masyarakat Indonesia juga harus berterima kasih kepada Pak Prabowo yang tidak memilih ulama karena akan berpotensi memecah belah umat Islam dan masyarakat Indonesia lainnya.

Pada momen ini, sungguh bukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo lah yang akan memenangkan pertarungan dan kompetisi adu gagasan ini. Sungguh ini adalah kemenangan dan satu langkah kebangkitan ekonomi Islam di Indonesia. KH Ma’ruf Amin merupakan Ketua Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat dan Sandiaga Salahuddin Uno merupakan Ketua Dewan Pembina Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DKI Jakarta. Kebangkitan ekonomi umat yang tentu akan membela kepentingan rakyat kecil, menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan ekonomi dan mengurangi kesenjangan yang selama ini hidup berdampingan dengan masyarakat Indonesia.

KH Ma’ruf Amin baru-baru ini menjadi salah satu pembicara pada kegiatan “High Level Discussion Indonesia Sebagai Pusat Ekonomi Syariah” yang diselenggarakan oleh Kementerian Bappenas RI. Beliau sangat mendukung dengan rencana Bappenas RI yang sedang menyusun Roadmap pembangunan ekonomi syariah di Indonesia. Apalagi, KH Ma’ruf Amin adalah salah satu Professor bidang ekonomi syariah pertama di Indonesia. Sandiaga Uno pun demikian. Beberapa kali dalam kesempatan rapat saat menjabat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, beliau sangat komitmen dalam pembangunan ekonomi syariah di Jakarta. Bahkan, ia ingin menjadikan Jakarta sebagai pusat keuangan Islam dan Pariwisata Halal di dunia. Salah satu aspek yang paling mendasar dan krusial dalam pembangunan ekonomi syariah di Indonesia adalah Political Will dari kepala negara atau kepala daerah nya.

Kebangkitan ini juga didukung dengan fenomena-fenomena yang terjadi dunia pada akhir-akhir ini. Menurut World Islamic Banking Competitiveness Report 2011-2012 yang disampaikan pada 18th Annual The World Islamic Bank Conference 2011 menyatakan bahwa ekonomi global dan pasar keuangan berada pada titik balik. Pertumbuhan Ekonomi yang cepat di Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur membentuk hampir setengah dari PDB global dan, pada 2010, menyumbangkan 70% terhadap pertumbuhan global secara keseluruhan. Pada sektor keuangan, menurut UK Islamic Finance Secretariat dalam Islamic Finance 2012 Report menyatakan asset global keuangan syariah telah mencapai $1,130 pada tahun 2010 dan diperkirakan sebesar $1,289 triliun pada tahun 2011.

Adapun untuk aset keuangan syariah Indonesia, naik dari US$47,6 miliar pada 2016 menjadi US$81,8 miliar per tahun 2017 atau meningkat dari peringkat ke-9 menjadi ke-7 di dunia. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga 31 Maret 2018, total aset keuangan syariah Indonesia sebesar US$82,3 miliar. Pangsa tersebut sekitar 8,4% terhadap keuangan umum secara nasional. Bahkan, menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kemajuan ekonomi syariah dapat mengurangi gangguan stabilitas nilai tukar. Ia mengatakan, peningkatan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate 50 basis poin (bps) dilakukan untuk mengatasi serangan spekulasi dari global yang membuat stabilitas nilai tukar rupiah terganggu (Validnews.id, 2018).

Belum lagi soal fatwa terbaru dari DSN-MUI mengenai Uang Elektronik Syariah yang dinilai mampu mempercepat pembangunan ekonomi syariah di Indonesia. Fatwa tentang Uang Elektronik Syariah (Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017) dan Fatwa tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah (Fatwa No:117/DSN-MUI/II/2018) merupakan kelompok fatwa yang terkait dengan aktivitas dan produk lembaga keuangan syariah (LKS) dan lembaga bisnis syariah (LBS). Fatwa tentang Uang Elektronik Syariah (Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017); di antaranya mengatur hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi uang elektronik dan prinsip umum yang wajib dipatuhi pada saat melakukan transaksi uang elektronik.

Fatwa tersebut menyatakan bahwa akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi’ah atau akad qardh. Sedangkan akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, Pedagang atau merchant, penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.

Fatwa tersebut semakin mendukung Kemenangan dan kebangkitan  tersebut. Kemenangan tersebut sebetulnya sudah sewajarnya diperoleh umat Islam di Indonesia yang notabene memiliki 12,7% dari total populasi muslim di dunia dengan potensi pangsa industri Halal mencapai US$ 3 T dollar AS pada tahun 2022 menurut Prof Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI. Tentu, harus tetap mengucap rasa syukur kepada Allah dan terus mengawal jalan nya perjuangan menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang telah diamanatkan oleh konstitusi. Semoga Allah menghadirkan rahmat bagi masyarakat Indonesia dan pilpres 2019 berlangsung aman serta damai. Pilpres bukan menjadi ajang memecah belah, bermusuhan dengan sanak saudara, apalagi bercerai dengan isteri sendiri karena berbeda pilihan. Indonesia sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi dan masyarakat sudah semakin cerdas dalam memilih. Selamat berkompetisi yang sehat, salam dari para ekonom Rabbani Indonesia!

“Bila ekonomi konvensional mampu mengubah sebuah negara maka ekonomi syariah mampu mengubah sebuah peradaban”. (Irsyad Al Ghifari)

Fenomena “Latah” dari Generasi Nunduk dalam Berorganisasi

Generasi.png

          Setiap manusia pasti menginginkan perhatian, pujian, pengakuan, dan eksistensi dalam lingkungan sosial nya. Tak terkecuali dari generasi nunduk atau yang lebih sering dikenal dengan generasi yang tidak lepas dari gadget. Mereka juga dikenal dengan generasi millennial yang ingin bebas berekspresi, kreatif, dan banyak ide. Keunikan generasi millennial tersebut membuat para akademisi dan peneliti tertarik untuk menelitinya. Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika Serikat, sudah banyak dilakukan. Di antaranya studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials: Deciphering the Enigma Generation. Tahun sebelumnya, 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next. Hasilnya adalah millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi sejarah, millennial lebih memilih ponsel daripada TV, millennial wajib punya media sosial, millennial kurang suka membaca secara konvensional, millennial lebih tahu teknologi dibandingkan dengan orang tua mereka, millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif, dan millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless.

           Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa millennial cenderung ingin eksis di sosial media dan berkumpul untuk membentuk komunitas atau start up. Fenomena ini dimulai dari munculnya komunitas Young On Top tahun 2012 yang didirikan oleh Billy Boen dan redup di akhir 2013 namun kembali bermunculan pada awal 2015. Dulu, millennial cukup memandang sebelah mata terhadap kegiatan-kegiatan komunitas namun karena fenomena “latah” tersebut, millennial mulai melirik untuk aktif di komunitas. Fenomena tersebut sangat lah baik akan tetapi ada beberapa hal yang sangat disayangkan. Pertama, euforia mendirikan dan melakukan kegiatan berkomunitas tidak bertahan lama. Banyak komunitas yang bermunculan namun tidak mengetahui arah geraknya kemana, bagaimana sistem kerja nya, keberlangsungan program nya, dan bahkan cenderung hanya bagus di kemasan nya saja. Kedua, founder nya tidak memiliki kapasitas memimpin, pengalaman berorganisasi, relasi dan ilmu pengetahuan yang cukup untuk membawa arah gerak komunitasnya. Ketiga, belum ada sistem kerja yang baik dan banyak terjadi miss komunikasi antara anggotanya masing-masing. Keempat, kurangnya inisiatif dan keaktifan dari leader nya ataupun anggotanya. Masing-masing cenderung menunggu arahan dan terkadang tidak ingin diberikan tugas oleh pemimpin nya. Kelima, banyak yang tidak memiliki mentor atau pembina dalam komunitasnya.

          Pada akhirnya, bukan tidak boleh untuk berbondong-bondong mendirikan komunitas baru. Akan tetapi, jangan sampai hanya menjadi generasi yang “wah” di luar nya saja namun dalamnya ternyata sangat rapuh. Rapuh dalam mental berjuang, rapuh dalam menahan perasaan saat bekerja, rapuh dalam konsisten mengabdi, dan rapuh dalam membina anggotanya. Perlu adanya beberapa hal transformatif yang harus dilakukan oleh millennial dalam mengefektifkan pengabdian masyarakatnya melalui komunitas tersebut. Pertama, para founder harus meningkatkan kapasitasnya dengan cara membaca, mengamati perilaku sosial, menambah jejaring dengan mengikuti konferensi atau perlombaan, dan mempelajari manajemen relasi. Kedua, perlu adanya wadah yang lebih besar sebagai tempat para founder untuk berbagi cerita baik suka duka maupun saling sharing mengenai ilmu komunitas. Ketiga, memimpin dengan kepemimpinan sistem bukan leader sentris agar tidak terjadi ketergantungan terhadap pemimpin nya. Keempat, mencari mentor atau pembina yang memiliki kompetensi sesuai bidangnya masing-masing dan harus lebih dari satu mentor, baik mentor untuk komunitas maupun mentor untuk leader nya. Kelima, komunitas harus memanfaatkan sosial media dan teknologi digital lainnya untuk memublikasikan program nya dan menjadi salah satu tools untuk melakukan pengabdian masyarakat. Keenam, analisis masalah sosial yang terjadi di lingkungan sekitarmu dan berhenti untuk meniru-niru secara ekstrim komunitas yang populis karena belum tentu jenis komunitas tersebut dapat menyelesaikan permasalahan sosial di sekitarmu. Ketujuh, prioritaskan kepada keberlanjutan program daripada kemasan luarnya agar tidak menjadi komunitas yang rapuh. Kedelapan, tawarkan adanya peningkatan kapasitas diri kepada para anggota dan buat mereka merasakan manfaat pengembangan dari leader nya.

          Indonesia tentu membutuhkan sosok-sosok pemuda yang antara teori dan praktek nya sejalan dan konkret, tidak hanya sekedar berwacana belaka. Bila kita belajar dari sejarah masa lampau, pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di  depan 33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner”. Presenta­si Mandel di tempat itu dianggap sebagai kejadian yang  sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting  dari  seluruh perjalanannya.  Pidato  dan beberapa kutipan dari  diskusi  yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini. Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat  hebat  terhadap kecenderungan “aktivisme” dan “spontanisme”, yang belakangan  ini muncul  di  kalangan  kaum radikal di dunia  Barat.  Dia kemudian berbicara  mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang  tidak terpisahkan  antara teori dan praktek. Itu artinya, komunitas didirikan tidak hanya sekedar sebagai hobi atau objek seremonial belaka melainkan harus menjadi wadah revolusioner bagi lingkungan sosial sekitar. Hingga akhirnya, anak muda dapat menjadi “senjata” yang sangat ampuh bagi pembangunan suatu bangsa.

Dari Musik Tik Tok, Aku Belajar Menentukan Arah

FP.png

Ditulis oleh: Irsyad Al Ghifari, Duta IPB 2016-2017 

       Setiap anak muda Indonesia pasti menginginkan hidup nyaman, mapan, dan dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, harapan itu ingin terwujud secara cepat dan instan. Padahal, harapan itu dapat terwujud dengan memiliki nilai hidup dan karakter yang tahan terhadap permasalahan. Dalam abad ke 21 ini, kecerdasan tidak lagi sebatas IQ,EQ, dan SQ. Paul G. Stoltz mengemukakan bahwa Adversity Quotient kecerdasan untuk mengatasi kesulitan dengan melihat hambatan menjadi peluang. Bahkan, ia menggunakan terminology para pendaki gunung. Menurut Stoltz ada tiga bagian, yaitu quitter (yang menyerah) hanya sekedar bertahan hidup, camper (berkemah di tengah perjalanan) mereka berani melakukan pekerjaan yang beresiko namun tetap aman dan terukur akan tetapi cepat puas, dan climber (pendaki yang mencapai puncak) berani menghadapi risiko dan menuntaskan pekerjaannya. Tentu, anak muda Indonesia ideal nya adalah para climber yang mampu menghadapi risiko, masalah, tantangan dan mampu untuk menuntaskannya. Proses menjadi seorang climber tersebut tidak lah mudah dan tentu setiap orang berbeda kondisi dan tantangannya. Tuhan pasti tidak memberikan ujian di luar kemampuan hamba nya akan tetapi ujian yang diberikan itu adalah tanda kasih sayang agar orang tersebut mampu mengatasinya dan bertambahnya kemampuan adversity quotient nya.

       Kondisi ujian daya tahan terhadap permasalahan atau kegagalan pernah kita alami saat keluluasan SMA dan saat ingin melanjutkan ke jenjang perkulliahan. Mungkin, tidak sedikit dari kita yang pernah gagal masuk perguruan tinggi yang kita impikan. Momen itu membuat kita mungkin di posisi terburuk dan terendah dalam hidup karena kita tidak pernah mempersiapkan mental kegagalan. Kadang, kita merasa sudah berkorban banyak, les sana sini, mengerjakan puluhan soal setiap harinya. Kondisi tersebut pernah di alami oleh penulis yang saat itu dinobatkan sebagai juara umum sekolah dan lulusan terbaik di SMA nya akan tetapi gagal masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN. Perasaan marah, kecewa, dan tidak percaya bahwa momen itu benar-benar terjadi. Bahkan, ada siswa SMA yang ditolak tujuh kali untuk dapat berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan pada akhirnya ia diterima. Pada akhirnya, pintar saja tidak cukup untuk sekedar bertahan hidup apalagi untuk mencapai kesuksesan di dunia ini. Orang yang dapat mengambil setiap pelajaran dari kegagalan dan keberhasilan adalah orang yang menentukan arah baru dunia ini. Misalnya percobaan lampu ratusan kali Thomas Alfa Edison yang pada akhirnya mengubah arah dunia dengan listriknya. Isaac Newton dengan jatuhnya apel sehingga Hukum Newton tercipta yang kini dapat mengubah arah dunia.

       Berbicara soal pengalaman mengalami kegagalan, penulis memiliki beberapa pengalaman saat menjadi mahasiswa baru. Penulis berkuliah di Institut Pertanian Bogor, jurusan Ekonomi Syariah. Ketika menjadi mahasiswa baru, penulis sama sekali tidak memiliki relasi dan hanya dia yang berkuliah di IPB dari sekolahnya. Tentu, ini adalah sebuah kesulitan dalam proses adaptasi dalam perkuliahan dan dalam menjalani hidup di asrama. Hari-hari pertama nya, hanya diisi dengan perkenalan singkat kepada teman-teman asrama nya dan hanya beberapa orang yang menjadi teman dekat nya kala itu. Seperti halnya musik Tik Tok yang asing namun beberapa hari terakhir ini menjadi viral dan bahkan digunakan oleh ribuan orang Indonesia. Terlepas dari pro kontra nya, ada beberapa inspirasi yang terdapat pada musik Tik Tok asal Tiongkok tersebut. Beberapa inspirasi tersebut dapat menjadi refleksi bagi mahasiswa baru untuk menentukan arah baru hidupnya. Dalam kondisi ini, penulis memiliki beberapa hal yang menjadikan ia mampu bertahan, beradaptasi, dan meraih beberapa mimpi nya selama menjadi mahasiswa baru hingga akhirnya ia mampu menentukan arah baru hidupnya.

       Pertama, aplikasi Tik Tok mampu mengenali segmentasi pasarnya dan dapat beradaptasi dengan budaya negara yang menjadi tujuan nya. Seperti halnya mahasiswa baru, ia harus mampu mengenal dirinya sendiri baik kebiasaan, kesukaan, dan cara merawat emosi nya. Penulis biasanya melakukan evaluasi diri setiap satu minggu sekali dengan cara merenung dan mendengarkan musik klasik. Berbicara di depan cermin setiap pagi juga menjadi kebiasaan penulis agar memberikan kalimat positif dan semangat pagi bagi dirinya. Selain itu, ia juga tahu kapan harus istirahat, kapan harus melesat, dan kapan harus jalan bersama. Bahkan, ketika penulis mengalami fase berat dan tekanan banyak, penulis pergi sendirian ke puncak kemudian menangis setelah sholat di Masjid At Ta’awun dan setelah itu langkah terasa ringan.

       Kedua, aplikasi Tik Tok bukan lah hal baru. Tik Tok hanya melakukan amati, tiru, dan modifikasi dari musical.ly. Pembelajaran itu bahkan saat ini dapat menyaingi aplikasi pendahulunya. Seperti halnya mahasiswa baru, ia harus mampu belajar dari sejarah baik perkuliahan, peristiwa besar, maupun cara belajar orang-orang hebat selama di kampus. Selama tingkat satu, penulis aktif mengikuti kegiatan seminar yang dihadiri pembicara hebat baik skala kampus maupun nasional. Dalam forum, penulis selalu penasaran dengan kesuksesan mereka dan selalu bertanya tentang sejarah masa lalu pembicara. Bahkan, penulis tak segan untuk meminta pembicara mementorinya agar dapat mengikuti jejaknya. Mulai dari Presiden Mahasiswa hingga Ketua MPR RI yang kini masih aktif mementorinya. Penulis setiap hadir di sebuah seminar selalu mencatat semua materi yang diberikan dan terkadang sambal mengamati Bahasa tubuh pembicara. Orang besar pasti memiliki bahasa tubuh yang unik dan berbeda dari yang lain.

       Ketiga, aplikasi Tik Tok tahu bagaimana ia melakukan proses ekspansi dan pengenalan kepada negara di luar Tiongkok. Seperti halnya mahasiswa baru, ia harus mengetahui cara berkenalan dengan orang yang baru dikenal nya. Penulis sejak masuk kuliah telah memiliki kartu nama agar memudahkan nya saat berkenalan dengan orang yang baru dikenalnya. Tidak hanya itu, penulis memfoto kartu nama dengan wajah orang yang baru dikenalnya agar selalu ingat saat penulis akan menghubunginya. Berkat kebiasaan itu, kini penulis memiliki teman di lebih dari 73 negara di seluruh dunia.

       Keempat, aplikasi Tik Tok mampu menciptakan content creator baru dan bahkan mampu mengorbitkannyam menjadi sosok publik figur baru. Seperti halnya mahasiswa baru, ia harus mempunyai semangat kolaborasi dan empowerment kepada sesama teman nya dan orang lain. Penulis ketika menjadi mahasiswa baru pernah membuat komunitas mahasiswa baru seluruh Indonesia dan saling berbagi pengetahuan melalui diskusi online. Walaupun pada akhirnya proses keberlangsungan komunitas tersebut tidak terlalu baik akan tetapi pada akhirnya anggota grup tersebut beberapa sudah ada yang menjadi Ketua BEM di kampusnya, delegasi untuk konferensi internasional, mahasiswa berprestasi tingkat fakultas, dan pencapaian lainnya. Jangan pernah merasa ragu untuk mencoba dan memulai hal baru karena boleh jadi percobaan kita hari ini menjadi referensi percobaan di masa depan. Sejarah itu milik para pemberani bukan para pencaci.

       Kelima, aplikasi Tik Tok mampu membuat perbedaan dan perubahan baik dari perubahan fiturnya hingga mengubah gaya hidup masyarakat dunia. Aplikasi ini menghadirkan special effects yang menarik dan mudah digunakan sehingga semua orang bisa menciptakan sebuah video yang keren dengan mudah. Melalui kombinasi kecerdasan buatan dan teknologi penangkap gambar, kreasi video akan disederhanakan dan ditingkatkan. Di saat bersamaan performa video pun turut ditingkatkan. Special effects tersebut di antaranya efek shaking and shivering pada video dengan electronic music, mengubah warna rambut, 3D stickers, dan properti lainnya. Sebagai tambahan, kreator dapat lebih mengembangkan bakatnya lagi dan membuka dunia tanpa batas hanya dengan memasuki perpustakaan musik lengkap Tik Tok.

       Seperti halnya mahasiswa baru, ia harus mempunyai kebiasaan berbeda dan semangat perubahan di setiap tugas dan karya-karya nya. Penulis selama menjadi mahasiswa baru mempunyai kebiasaan membaca portal berita setiap harinya dan membaca artikel berbahasa inggris untuk melatih conversation nya. Selain itu, penulis memiliki kebiasaan membaca buku-buku sejarah dan kepemimpinan agar menjadi modalnya ketika diberi kepercayaan untuk memimpin orang banyak. Kemudian, semangat perubahan juga ia tularkan saat memimpin kepanitiaan ospek sebagai wakil dan kepanitiaan farewell party asrama di IPB. Semangat perubahan tersebut menjadi catatan sejarah yang unik dan menarik bagi mahasiswa baru di Indonesia. Penulis bersama ratusan panitia ospek lainnya bahu membahu untuk menciptakan rekor dunia dengan tujuh formasi mozaik pertama dan tercepat di dunia dan hal tersebut telah terwujud. Saat memimpin kepanitiaan farewell party asrama, ia bersama puluhan panitia lainnya membuat beberapa perubahan. Di antaranya adalah konsep acara yg minimalis namun bermakna, lighting yang meriah, publikasi yang menarik, buka puasa bersama, rektor, wakil rektor, dan seluruh dekan di IPB hadir. Hal tersebut menjadi sejarah tersendiri karena tidak pernah ada kegiatan mahasiswa baru selain ospek yang dihadiri oleh seluruh pimpinan di IPB. Acara asrama juga biasanya tidak terlalu menarik buat mahasiswa baru karena cenderung monoton, bosan, dan sebagainya. Penulis melihat masalah dan tantangan tersebut sebagai sebuah peluang untuk membawa sebuah perubahan. Bahkan, John P. Kotter dalam bukunya yang berjudul What Leaders Really Do menjelaskan bahwa pemimpin yang sukses dalam kepemimpinan nya selalu melakukan hal-hal menyimpang dalam hal inovasi, gaya rapat, gaya komunikasi, gaya penampilan, dan cara ia memandang dunia.

       Pada akhirnya, menjadi mahasiswa baru adalah anugerah sekaligus amanah dari negara. Hanya melalui pendidikan lah kondisi perekonomian keluarga dan negara akan membaik. Selamat buat kamu yang tahun ini resmi menjadi mahasiswa baru baik di Indonesia maupun di luar negeri. Berikan yang terbaik buat bangsamu karena kelak bangsa ini akan berterima kasih kepada anak-anak muda yang mampu berpikir besar dan berpikir global dalam memajukan Indonesia yang lebih baik. Setiap orang ada masa nya dan setiap masa ada orangnya. Tidak mungkin selamanya ia mampu di posisi kejayaan. Kegagalan dan kemunduran adalah suatu hal keniscayaan maka yang terpenting dalam hidup selain agama adalah mempersiapkan generasi setelah kita jauh lebih baik. Tidak usah minder dengan pencapaian orang-orang hebat hari ini, kamu juga hebat dan mungkin saat ini belum masa nya kamu. Akan tiba masa nya kamu di posisi mereka hari ini dan kelak ketika masa itu tiba, tetap rendah hati dan menginspirasi orang lain. Karena hidup bukan hanya sekedar mencari jabatan, kekayaan, apalagi popularitas. Hidup ini mencari makna dan nilai, ketika sudah didapat, jangan lupa untuk sampaikan kepada orang banyak. Sekali lagi, selamat buat kamu yang resmi memasuki dunia baru sebagai mahasiswa Indonesia.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat tanah airnya, bukan tanah pijakannya” (Irsyad Al Ghifari).

Student Loan Menuai Polemik, Mahasiswa Ekonomi Syariah IPB Tawarkan Solusi Wakaf Pendidikan

    IMG_0487.jpg

     Student Loan merupakan jenis pinjaman yang dirancang untuk membantu mahasiswa membayar pendidikan pasca-sekolah menengah dan biaya terkait, seperti biaya kuliah, buku dan perlengkapan dan biaya hidup (Wikipedia, 2018). Konsep pinjaman pendidikan tersebut pada dasarnya bertujuan baik untuk menumbuhkan gaya hidup mandiri dan tidak merepotkan orang tua dalam hal finansial. Di Indonesia, konsep tersebut pernah diterapkan pada masa orde baru yang bernama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan oleh Universitas Widyatama yang bekerja sama dengan Sampoerna Foundation pada tahun 2008 lalu. Dilansir melalui website www.widyatama.ac.id, pinjaman tersebut dinilai memiliki beberapa keunggulan, di antara nya adalah tanpa agunan, bebas biaya provisi dan administrasi, suku bunga kompetitif, dan lain-lain.

       Beberapa hari terakhir ini, media-media memberitakan mengenai wacana Presiden Joko Widodo untuk membuat program student loan di Indonesia seperti yang ada di Amerika Serikat. “Saya ingin memberi PR (pekerjaan rumah) kepada Bapak Ibu sekalian, dengan yang namanya student loan atau kredit pendidikan,” kata Jokowi saat pertemuan dengan pimpinan bank umum di Istana Negara, Jakarta (Kompas.com, 2018). Namun, wacana tersebut menuai pro kontra dari beberapa kalangan. Kebijakan tersebut dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi oleh pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jimmy Ph yang dimuat pada artikel tirto.id. Jimmy mengatakan bahwa alam UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 76 ayat (1). Sementara pada ayat (2) pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, membebaskan biaya pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau telah memperoleh pekerjaan. Tidak hanya itu, Pengamat Ekonomi dari PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual menjelaskan, student loan bisa menyebabkan kredit macet apabila selepas menempuh pendidikan, pelajar tidak mendapat pekerjaan. Namun, ada juga yang merespon positif terhadap wacana tersebut. Misalnya dari Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan, hal terpenting dari pemberian student loan adalah bagaimana menelusuri keberadaan pelajar setelah lulus sekolah. Oleh karena itu, menurut Kartika, pelajar harus memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang bisa terintegrasi ke Sistem Lembaga Informasi Keuangan (SLIK) (cnbcindonesia.com, 2018).

     Pemerintah Indonesia juga perlu mengkaji secara komprehensif mengenai kebijakan tersebut sebelum benar-benar menerapkannya di Indonesia. Pemerintah juga dapat belajar dari negara-negara yang sudah menerapkannya, misalnya Amerika Serikat, Jerman, United Kingdom, Australia, Kanada, Norwegia, Jepang, India, dan lain-lain. Misalnya, Di Amerika, utang uang sekolah sudah menjadi utang konsumen tertinggi kedua setelah Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Utang ini sudah semakin besar pada tahun 2017 sehingga pantas dikategorikan sebagai suatu masalah serius yang semakin lama semakin buruk. Bahkan, Sekitar 70% dari mereka lulus dengan student loan, dan lebih dari 44 juta warga negara AS memiliki total pinjaman pendidikan senilai US$1,4 triliun (Rp 19.258 triliun). Fakta lainnya adalah Riset dari Citizens Financial Group mengatakan 60% peminjam student loan memperkirakan akan melunasi utangnya di usia 40-an. Tidak hanya itu, laporan dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), menunjukkan ada 6,9 juta peminjam student loan yang sudah berusia antara 40 dan 49 tahun, dan utang gabungan mereka berjumlah $229,6 miliar. Artinya, warga negara AS memiliki rata-rata sisa pinjaman pendidikan sebesar $33.765 per orang di usia 40-an. Kemudian, The Fed Washington menemukan bahwa kenaikan student loan telah berefek pada penurunan kepemilikan rumah. Sebuah riset dari NerdWallet memproyeksikan mahasiswa yang lulus tahun 2015 akan terpaksa menunda masa pensiun mereka hingga usia 75 sebagian karena naiknya beban pinjaman pendidikan.

      Kondisi tersebut cukup menunjukkan bahwa program tersebut belum mampu mengatasi persoalan pendidikan yang ada di Amerika Serikat. Padahal, pendapatan per kapita AS mencapai 53.041 ribu dollar AS dan hal ini berbeda sekali dengan Indonesia yang baru mencapai 3.605 ribu dollar AS. Tentu, bukan berarti pesimis dengan kebijakan tersebut namun perlu adanya penyesuaian sistem mengingat Indonesia dan Amerika Serikat berbeda kultur masyarakatnya serta pendapatan ekonomi nya. Sebetulnya, ada konsep yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia dan sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu program wakaf pendidikan. Namun, wakaf selama ini belum terlalu dilirik oleh pemerintah Indonesia dalam bekontribusi bagi pembangunan terutama pada bidang pendidikan. Padahal, Universitas Al Azhar saja pada 970 Masehi merupakan hasil pengelolaan wakaf dari masyarakat mesir. Alternatif pembiayaan pendidikan ini juga sudah didukung oleh konstitusi melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang tersebut, wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

      Kontribusi wakaf dalam dunia pendidikan selain penerapannya di Universitas Al Azhar Mesir, Harvard University juga telah mengelola endowment (Wakaf). Bahkan, Harvard University di Amerika Serikat yang merupakan pengelola academic endowment terbesar di dunia memiliki nilai endowment lebih dari 35 miliar dolar AS pada 2016. Jumlah endowment kampus tersebut sangat besar dan menjadi penopang pemasukan kampus terbesar dengan presentase 36 persen dari total penerimaan (Republika, 2018). Lalu, dalam konteks Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) mengatakan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia mencapai 180 Triliun pada tahun 2017. Potensi tersebut setara dengan Sembilan kali anggaran untuk beasiswa LPDP pada tahun 2017 dan potensi tersebut belum dimaksimalkan sampai hari ini. Dengan uang tersebut pemerintah dapat membuat program pendidikan yang inklusif, tidak hanya untuk muslim saja terutama dalam hal pendidikan (Pasal 22 UU No 41 Tahun 2004). Di antaranya adalah beasiswa kepemimpinan, beasiswa perguruan tinggi untuk daerah 3T, beasiswa prestasi bagi mahasiswa, mendukung pendanaan bidikmisi dan LPDP, bantuan pembangunan infrastruktur, membangun perguruan tinggi bertaraf internasional, dan membuat Sekolah Amil yang setara dengan SMA. Bila kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia maka pemerintah telah menjalankan amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945 dan UU No 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi. Perlu adanya political will dari seluruh pemangku kebijakan dan tentu oleh yang mulia, Bapak Presiden Joko Widodo. Agar kelak, negeri Indonesia menjadi negeri yang mampu mensejahterakan masyarakatnya baik dari segi ekonomi maupun dari segi pengetahuan umum karena bangsa yang besar adalah bangsa yang cerdas dan mencerdaskan masyarakatnya.